Jumat, 30 Mei 2008

Agresi Majapahit ke Kerajaan Banua, Tamiang

Agresi Majapahit ke Kerajaan Banua, Tamiang

KERAJAAN Banua di Tamiang telah berdiri sejak 580 H (1184 M). Raja pertama bergelar Meurah Gajah, 580-599 H (1184-1213 M). Raja terakhir sebelum Islam adalah Makhdum Saat (Panglima Eumping Beusoe), 723-753 H (1323-1353 M), berasal dari Peureulak dan perkawinannya dengan Putri Raja Mala (678-723 H), diperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Muda.

Pada waktu pemerintahan Eumping Beusoe, datanglah rombongan mubaligh dari Peureulak yang dipimpin seorang ulama, Teungku Ampon Tuan, yang kemudian Kerajaan Tamiang menjadi Kerajaan Islam. Putri Teungku Ampon Tuan dinikahkan dengan Putera Mahkota Kerajaan Raja Muda. Dari perkawinan tersebut, lahir seorang puteri yang bernama Puteri Lindung Bulan.

Setelah Raja Eumping Beusoe mangkat, diangkat Raja Muda menjadi Raja Kerajaan Islam Banua dengan gelar Raja Muda Seudia, sekaligus raja pertama Kerajaan Islam Banua (setelah namanya diubah menjadi Kerajaan Islam Tamiang), yang memerintah selama 47 tahun, 753-800 H (1353-1398 M).

Pada masa pemerintahan Raja Muda terjadi agresi Majapahit yang dipimpin Patih Nala pada 7I9 H (1377 M). Angkatan perang Majapahit menduduki Pulau Kampai di Selat Malaka. Patih Nala mengirim utusan kepada Raja Muda Seudia, meminta Raja untuk menyerahkan puterinya (Puteri Lindung Bulan) untuk persembahan pada Raja Majapahit, Prabu Rajasanagara Hayam Wuruk.

Raja Muda Seudia menolak permintaan itu. Karena itu, Patih Nala melakukan agresi terhadap Kerajaan Islam Banua. Karena diserang, Raja Muda Seudia dan rakyat mengadakan perlawanan dengan gigih. Angkatan perang Majapahit mengalami kerugian besar di Kota Kuala Peunaga dan Aron Meubajee. Selain itu, di ibukota kerajaan terjadi perang besar sehingga semua bangunan hancur, terbakar, dan diruntuhkan.

Pada saat kritis tersebut, datang bantuan pasukan beserta perlengkapan perang dari Kerajaan Islam Peureulak dan Kerajaan Samudera/Pase (sekutu Banua dalam federasi). Akhirnya, tentara Majapahit mengalami kekalahan dalam medan tempur dan Majapahit mengurungkan niat untuk menjajah Kerajaan Banua.

Setelah Raja Muda Seudia mangkat pada 800 H (1398 M), Kerajaan Islam Banua menjadi kacau sehingga terpecah menjadi tiga kerajaan kecil (Kerajaan Negeri Karang, Kerajaan Kuala Peunaga, dan Kerajaan Negeri Indra/Daerah Alas).

M Junus Djamil, “Aceh dalam Inskripsi Sejarah”

Dr Alamsyah dkk “Ensiklopedi Aceh”

Asal nama atjeh/aceh.

Asal nama atjeh/aceh.

Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda. Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh yang dirangkum dari berbagai catatan lama.

Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk.

Muhammad Said mengutip keterangan dari catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.

Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.

Namun, Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.

Sementara itu, HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.

Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah.

Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri.

Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.

Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.

Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.

Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).

Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu), Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.

Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.

Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum.”

Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).

Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamai pohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.

Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.

Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.

Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.

Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.

surf aceh history

Aceh surfing team

Aceh surfing team adalah salah satu organisasi anak-anak surfing yang bertempatan(scretariat) di banda aceh,tepatnya di lhoknga.jalan banda aceh-melaboh km.17 lhoknga aceh besar.

Aceh surfing team ini sudah berdiri sejak tahun 1992 yang di ketuai pertama oleh CUT(steppvenson)YUH salah satu local senior di lhoknga.

tepatnya sebelum aceh di landa kerusuhan. banyak kegiatan2 yang dilakukan anak-anak aceh surfing disana seperti kegiatan-kegiatan social.

Membersihkan pantai,mengenalkan arus-arus laut lhoknga pada masyarakat,mejaga pantai,mebantu nelayan dalam rehab perahu,memperbaiki musholla,membuat tempat sampah di pantai juga mengajak masyarakat untuk menjaga kebersihan pantai dll.

Kegiatan-kegiatan tersebut dan juga organisasi aceh surfing team ini sempat terhenti beberapa tahun.

Dimana saat itu aceh di tetapkan sebagai daerah yang berstatus darurat militer.anak-anak surfing banyak yang jadi korban kerusuhan,kesalah pahaman dan juga meninggal karma tindakan militer yang semena-mena. Bersambung….

by fauzari

Cut Nyak Dhien Vs Kartini

the cut Nyak dhien

Jepara, Jawa Tengah 129 tahun lalu, 21 April 1879. Rumah Bupati Raden Mas Adipati Sastrodininggrat melengking tangisan. R A Kartini dilahirkan. Ia kelak disanjung karena dianggap sebagai pembawa emansipasi wanita.

Lampadang, Aceh Besar 160 tahun lalu (1848), Cut Nyak Dhien dilahirkan. Ia ditakdirkan untuk membawa pesan ketangguhan perempuan di medan perang. Bila Kartini dengan tangan gemulai merangkai kata untuk perubahan, Cut Nyak Dhien lebih memilih pedang untuk mempertahankan jati diri ke-Aceh-annya.

Gemuainya Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” membuat hari kelahirannya diperingati sampai sekarang. Tangkasnya Dhien mengayun pedang, menebas Belanda hanya terabadikan dalam sebuah film. Selebihnya hanya pajangan disekolah-sekolah, sebagai petanda kabar bahwa tokoh yang sampai tuanya tak pernah kompromi dengan penjajah Belanda itu masih dianggap sebagai pahlawan.

Tamat sekolah Europese Lagere School (ELS) setingkat sekolah dasar sekarang, Kartini duduk manis dengan kebangsawanannya menunggu pingitan. Sementara Dhien, yang dididik dibalai pengajian, lebih memilih jadi janda tinimbang tunduk pada Belanda.

Tahun 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyoninggrat. Disana Kartini mendirikan Sekolah Kepandaian Putri. Beragam kegiatan pemberdayaan perempuan dilakukan.

29 Juni 1878, Dhien menyandang status janda, setelah Tgk Ibrahim Lamnga, suaminya tewas dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum. Dhien maju ke garda depan, menyemangati pasukan megorbankan perlawanan.

Di Rembang, Kartini masih berkutat di bawah teduh mengajari kaum perempuan untuk tak terjebak pada segi tiga lingkaran, sumur, dapur, dan kasur. Di Lamnga, Dhien menarik perempuan dari pelukan suaminya ke medan perang.

Pada usia 25 tahun, 17 September 1904, Kartini meninggal di ranjangnya, setelah berjuang melahirkan putra pertama. Di belantara Aceh, Dhien berjuang dengan penyakit encok dan rabun, setelah suami keduanya, Teuku Umar tewas ditembak Belanda dalam sebuah pertempuran di Meulaboh Aceh Barat.

Belanda menangkapnya setelah pengkhianatan Pang Laot yang tak tega melihat wanita kekar itu renta dengan penyakitnya. 6 November 1908, Dhien tewas di Sumedang, Jawa Barat dan dimakamkan di Gunung Puyuh setelah Belanda membuangnya ke sana.

Di rimba Aceh, gaung semangatnya masih menggema. Dhien pernah berkoar, setelah Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda. Ia berteriak di hadapan rakyatnya, “Lihatlah wahai orang Aceh. Tempat ibadah kita dirusak. Mereka telah mencoreng nama Allah. Sampai kapan kita akan begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda.”

Keprihatinan Kartini pada dunia pendidikan dan emansipasi wanita, membuatnya dikenang sebagai tokoh sampai sekarang, dalam berbagai ulasan lembar-lembar buku sejarah.

Perjuangan Dhien dan Kartini pun sama-sama difilmkan. Namun, Tjoet Nja’ Dhien yang disutradarai Eros Djarot (1988) lebih mendapat tempat dengan memenangi piala Cita sebagai film terbaik, serta film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (1989).

Hanya dalam film Dhien lebih dihargai ketimbang Kartini. Selebihnya nama Dhien hanya tertabal pada sebuah kapal perang TNI AL, mata uang rupiah senilai Rp10 ribu keluaran tahun 1998. Dhien dan Kartini dua sosok yang patut ditimbang-timbang kadar kepahlawanannya.

Rabu, 28 Mei 2008

aceh in the future

allahuakbar....allahuakbar....allahuakbar....allahuakbar....
bantu aceh tuk masa depan yang cerah dan damai